Pertarungan antara manusia dan mesin robot yang merupakan ciptaan manusia selalu saja menarik untuk disaksikan. Salah satunya adalah seperti pertandingan antara juara dunia Go dari Korea bernama Lee Sedol menghadapi kecerdasan buatan (AI) AlphaGo.
Mereka berkompetisi dalam sistem permainan Best of 5 yang dimulai pada 8 Maret 2016 lalu di Seoul, Korea Selatan. Pemenang akan menerima hadiah $1 juta dari Google.
Go adalah permainan papan strategi di mana dua pemain (pemilik bidak hitam dan putih) bertujuan untuk menjadi yang paling dominan. Permainan ini berasal dari Tiongkok dan telah dimainkan sejak 2.500 lalu.
Aturan permainannya cukup sederhana, tetapi kemungkinan gerakannya jauh lebih rumit daripada di catur. Menurut IFLScience, ada sekitar 1 x 10^170 kemungkinan konfigurasi untuk bermain Go.
Tidak seperti catur, tidak ada panduan pasti untuk memainkan Go yang baik. Sulit untuk menjelaskan bagaimana menjadi ahli di Go, karena sebagian besar pemain menjadi ahli dengan mengandalkan intuisi mereka.
Lee Sedol adalah salah satu pemain terbaik Go, ia disebut "baduk" di Korea. Pemain berusia 33 tahun itu saat ini memegang Dan-9 yang merupakan peringkat tertinggi dalam permainan Go. Peringkat itu sama dengan grandmaster jika dalam permainan catur.
Dia telah menjadi pemain profesional sejak dia berusia 12 tahun, memiliki lebih dari 1.000 kemenangan dan merupakan juara dunia sebanyak 18 kali.
Sebelumnya sebuah komputer buatan IBM yang bernama Deep Blue berhasil mengalahkan grandmaster catur bernama Garry Kasparov pada tahun 1997. Tetapi permainan Go jauh lebih kompleks dari permainan catur. Pada saat itu, para ahli komputer dan AI memperkirakan butuh setidaknya satu dekade lagi sebelum komputer dapat mengalahkan manusia dalam permainan Go.
Pada pertandingan itu, AlphaGo unggul dengan skor akhir 4-1 dan menjadikan robot AI buatan Google ini menjadi pemenang.
Cara AlphaGo Dapat Mengalahkan Pemain Go Terhebat di Dunia
Rahasia kesuksesan AlphaGo adalah kemampuannya untuk terus belajar. Program komputer ini dikembangkan oleh Demis Hassabis. AlphaGo dirancang untuk terus memperbaiki diri dengan cara bertanding melawan dirinya sendiri sebanyak jutaan kali dan mempelajari ribuan pertandingan Go.
Dengan kata lain, AlphaGo terus belajar melalui setiap percobaan dan kesalahan. Lalu secara bertahap belajar dari kesalahan tersebut dan pada akhirnya memperbaiki pengambilan keputusannya.
Saat bertanding, AlphaGo didukung oleh jaringan cloud computing milik Google dengan 1.920 prosesor dan 280 GPU, dan chip khusus yang mampu melakukan perhitungan sederhana secara massal. Sementara versi sederhana dari program ini hanya membutuhkan komputer dengan 48 prosesor dan 8 GPU.
Keberhasilan AlphaGo mengalahkan manusia di game Go ini memunculkan harapan untuk menciptakan AI yang lebih baik dan bermanfaat bagi manusia.
Menguji AI dalam permainan adalah cara terbaik untuk menguji algoritma yang pada akhirnya akan diimplementasikan untuk membantu manusia memecahkan berbagai masalah.
Tetapi meskipun begitu, AI sesungguhnya tidak hanya mampu mempelajari sesuatu yang rumit, tetapi juga memiliki wujud dan dapat berkomunikasi. Jadi meskipun AI sudah dapat melakukan tugas yang sangat kompleks, masih butuh waktu yang cukup lama sebelum AI ini dapat menggantikan tugas manusia.
Comments
Post a Comment